B. Ibu Susu
Menjadi adat dan kebiasaan orang Arab kala itu, khususnya kaum Quraisy, untuk menyusukan anak-anak mereka kepada orang lain yang memang berprofesi sebagai ibu susu.
Biasanya mereka datang dari kampung. Dan kampung tukang menyusui adalah kampung Bani Sa’ad, daerah Hudaybiah, sekitar 23-25 km dari Masjid al-Haram.
Ibu susu Rasulullah SAW dalam riwayat 4 orang. Dua diantaranya dapat dipastikan, sedangkan dua lainnya masih diperselisihkan. Mereka adalah :
1. Tsuwaybah
Tsuwaybah, Ibu Susu Rasulullah SAW yang pertama. Beliau menyusukan Rasulullah SAW beberapa hari saja, antara 5-10 hari.
Tsuwaybah adalah budaknya Abu Lahab yang kemudian dimerdekakan. Tak lama kemudian, beliau menyusui Rasulullah SAW ketika mengunjungi rumah Aminah dan didapati bahwa Muhammad yang masih bayi, tidak mau disusui ibunya. Dia pun akhirnya mencoba untuk menyusuinya, dan luar biasa, bayi ini pun mau.
Sejak hari itu, sampai kedatangan Halimah al-Sa’diyah, Muhammad SAW disusui oleh Tsuwaybah.
Cerita bahwa Tsuwaybah termasuk ibu susunya dapat dilihat dalam riwayat berikut :
Ummu Habibah bint Abu Sofyan ra. berkata : Saat Rasulullah SAW menemuiku, aku berkata kepada beliau : "Wahai Rasulullah, apakah engkau berminat terhadap saudara perempuanku, yaitu putri Abu Sofyan?"
Rasulullah SAW balik bertanya : "Maksudmu, apa yang harus aku lakukan?"
Aku menjawab : "Engkau menikahinya."
Rasulullah SAW bertanya : "Apakah kamu menyukai hal itu?"
Aku menjawab : "Aku bukanlah istrimu satu-satunya dan orang yang paling aku senangi untuk sama-sama berbagi kebajikan ini adalah saudaraku."
Rasulullah bersabda : "Saudara perempuanmu itu tidak halal bagiku."
Lalu aku katakan lagi kepada beliau : "Aku dengar engkau melamar Durrah bint Abu Salamah?"
Beliau berkata : "Putri Ummu Salamah?"
Aku menjawab : "Ya."
Beliau bersabda :
Kalau ia bukan anak tiri yang berada dalam asuhanku, maka ia tidak halal bagiku karena ia adalah anak perempuan saudaraku sepersusuan, sebab aku dan bapaknya telah disusui oleh Tsuwaybah. Maka janganlah kamu menawarkan kepadaku putri-putrimu ataupun saudara-saudara perempuanmu.
(HR. al-Bukhari dan Muslim)[1]
2. Seorang ibu dari Bani Sa’ad selain Halimah
3. Halimah sl-Sa’diyah
Dikisahkan, entah kenapa, di hari pertama usia Muhammad, ibunya Aminah hendak menyusui anak tunggalnya ini, namun anak ini enggan untuk membuka mulutnya.
Aminah yang sedih dengan kematian suaminya, semakin sedih ketika putranya tetap tidak ingin menyusu dari ibunya sendiri di hari kedua.
Di hari ketiga, datanglah Tsuwaybah, pembantu Abu Lahab, dia menawarkan diri untuk menyusui keponakan majikannya ini, ternyata bayi ini mau dan mulai menyusu. Si ibu gembira luar biasa, Tsuwaybah dulu juga pernah menyusui Hamzah ibn Abdul Mutthalib.
Pada hari ke delapan usia Muhammad, datanglah 10 orang wanita dari Bani Sa’ad ibn Bakr untuk mencari anak-anak susu. Satu dari mereka adalah Halimah yang datang bersama suaminya al-Harits dan putranya yang kecil, Abdullah ibn al-Harits.
Bagaimana Halimah bisa menjadi ibu susu Rasulullah SAW, kisahnya diceritakan sendiri oleh beliau yang ringkasnya sebagai berikut[2] :
Suatu kali dia pergi dari negerinya bersama suami dan anaknya yang masih kecil dan disusuinya, bersama beberapa wanita dari Bani Sa’ad. Tujuan mereka adalah mencari anak yang bisa disusui.
Dia berkata, “Itu terjadi pada masa paceklik, tak banyak kekayaan kami yang tersisa. Aku pergi sambil naik keledai betina berwarna putih milik kami dan seekor onta yang sudah tua yang tidak bisa diambil air susunya lagi walau setetes pun. Sepanjang malam kami tidak pernah tidur karena harus meninabobokan bayi kami yang terus-menerus menangis karena kelaparan. Air susuku juga tidak bisa diharapkan. Sekalipun kami masih tetap mengharapkan adanya uluran tangan dan jalan keluar.
Aku pun pergi sambil menunggang keledai betina kami dan hampir tak pernah turun dari punggungnya, sehingga keledai itu pun semakin lemah kondisinya. Akhirnya kami serombongan tiba di Makkah dan kami langsung mencari bayi-bayi yang bisa kami susui.
Setiap wanita dari rombongan kami yang ditawari Rasulullah SAW pasti menolaknya, setelah tahu bahwa beliau adalah anak yatim. Tidak mengherankan, sebab memang kami mengharapkan imbalan yang cukup memadai dari bapak bayi yang hendak kami susui.
Kami semua berkata, “Dia adalah anak yatim.” Tidak ada pilihan bagi ibu dan kakek beliau, karena kami tidak menyukai keadaan seperti itu.
Setiap wanita dari rombongan kami sudah mendapatkan bayi yang disusuinya, kecuali aku sendiri.
Tatkala kami sudah siap-siap untuk kembali, aku berkata kepada suamiku, “Demi Allah, aku tidak ingin kembali bersama teman-temanku tanpa membawa seorang bayi yang aku susui. Demi Allah, aku benar-benar akan mendatangi anak yatim itu dan membawanya.”
Suaminya berkata, “Memang ada baiknya jika engkau melakukan itu, semoga saja Allah mendatangkan barakah bagi kita pada diri anak itu.”
Halimah melanjutkan penuturannya, “Maka aku pun menemui bayi itu (beliau) dan aku siap membawanya. Tatkala menggendongnya seakan-akan aku tidak merasa repot karena mendapat beban yang lain.
Aku segera kembali menghampiri hewan tungganganku, dan tatkala aku mencoba menyusui, bayi itu mau menyusu sesukanya hingga kenyang.
Anak kandungku sendiri juga bisa menyusu sepuasnya hingga kenyang, setelah itu keduanya tertidur pulas. Padahal sebelum itu kami hampir tidak pernah tidur karena mengurus bayi kami.
Suamiku mengahampiri ontanya yang sudah tua. Ternyata air susunya menjadi penuh. Maka kami memerahnya. Suamiku bisa minum air susu onta kami, begitu pula aku, hingga kami benar-benar kenyang. Malam itu adalah malam yang terasa paling indah bagi kami.
“Demi Allah, tahukah engkau wahai Halimah, engkau telah mengambil satu jiwa yang penuh barakah,” kata suamiku pada esok harinya.
“Demi Allah, aku pun berharap yang demikian itu,” kataku.
Halimah melanjutkan penuturannya, “Kemudian kami pun siap-siap pergi dan aku menunggang keledaiku. Semua bawaan kami, juga kunaikkan bersamaku di atas punggungnya.
Demi Allah, setelah kami menempuh perjalanan sekian jauh, tentulah keledai-keledai mereka (rombongan Bani Sa'ad) tidak akan mampu membawa beban seperti yang aku bebankan di atas punggung keledaiku. Sehingga rekan-rekanku berkata kepadaku, “Wahai putri Dzu’aib, celaka engkau! Tunggulah kami! Bukankah keledaimu yang pernah engkau bawa bersama kita dulu?”
“Demi Allah, begitulah. Ini adalah keledai yang dulu.” Kataku.
“Demi Allah, keledaimu itu kini bertambah perkasa.” Kata mereka.
Kami pun tiba di tempat tinggal kami di daerah Bani Sa’ad, aku tidak pernah melihat sepetak tanah pun milik kami yang lebih subur saat itu. Domba-domba kami menyongsong kedatangan kami dalam keadaan kenyang dan air susunya penuh berisi, sehingga kami bisa memerahnya dan meminumnya.
Sementara setiap orang yang memerah air susu hewannya sama sekali tidak mengeluarkan air susu walau setetes pun dan kelenjar susunya juga kering.
Sehingga mereka berkata garang kepada para penggembalanya, “Celakalah kalian! Lepaskanlah hewan gembalaan kalian, di tempat gembalaannya putri Abu Dzu’aib.”
Namun domba-domba mereka pulang tetap dalam keadaan lapar dan tak setetes pun mengeluarkan air susu. Sementara domba-dombaku pulang dalam keadaan kenyang dan kelenjar susunya penuh berisi.
Kami senantiasa mendapatkan tambahan barakah dan kebaikan dari Allah selama dua tahun menyusui anak ini.
Lalu kami menyapihnya. Dia tumbuh dengan baik, tidak seperti bayi-bayi yang lain. Bahkan sebelum usia dua tahun pun dia sudah tumbuh pesat.
Kemudian kami membawanya kepada ibunya, meskipun masih berharap agar anak itu tetap berada di tengah-tengah kami, karena kami bisa merasakan barakahnya. Maka kami menyampaikan niat ini kepada ibunya.
Aku berkata kepadanya, “Andaikan saja engkau sudi membiarkan anak kami ini tetap bersama kami hingga menjadi besar. Sebab aku khawatir dia terserang penyakit yang biasa menjalar di Makkah.”
Kami terus merayu ibunya agar dia merelakan anak itu tinggal bersama kami.
Begitulah Rasulullah SAW tinggal di tengah Bani Sa’ad, hingga tatkala berumur empat atau lima tahun, terjadi peristiwa pembelahan dada beliau.
Imam Muslim meriwayatkan dari Anas yang bercerita, bahwa :
Rasulullah SAW didatangi Jibril, yang saat itu beliau sedang bermain-main dengan beberapa anak kecil lainnya.
Jibril memegang beliau dan menelentangkannya, lalu membelah dada dan mengeluarkan hati beliau dan mengeluarkan segumpal darah dari dada beliau, seraya berkata, “Ini adalah bagian setan yang ada pada dirimu.”
Lalu Jibril mencucinya di sebuah bejana dari emas, dengan menggunakan air Zamzam, kemudian menata dan memasukkannya ke tempatnya semula.
Anak-anak kecil lainnya berlarian mencari ibu susunya dan berkata, “Muhammad telah dibunuh!” Mereka pun menemui beliau yang datang dengan wajah pucat. (HR. Muslim)[3]
Satu potret penghormatan Rasulullah SAW terhadap ibu susunya terlihat di Ji’ranah sebagaimana yang diceritakan oleh ‘Amir ibn Watsilah al-Kinani yang berkata : Aku melihat Rasulullah SAW membagi-bagikan daging di Ji’ranah, kala itu usiaku masih kecil, aku membawa tulang-tulang onta, tiba-tiba datang seorang perempuan mendekati Nabi SAW, kemudian baginda menghamparkan sorbannya, dan perempuan itu duduk di atasnya. Akupun bertanya : Siapakah perempuan ini ? Beberapa orang sahabat menjawab : Dia adalah ibu yang menyusuinya dulu. (HR. Abu Dawud)[4]
Penghormatan Khadijah
Ketika Rasulullah SAW menikah dengan Khadijah, Halimah al-Sa'diyah datang ke Makkah mengucapkan selamat, karena anak susunya telah menikah.
Sebagai penghormatan dan tanda terima kasih, Khadijah yang dikenal kaya dan dermawan memberikan hadiah kepada ibu susu suami yang dicintai dan dikaguminya. Khadijah memberikan hadiah 40 ekor kambing.
Dari keempat nama tadi, yang tidak diperselisihkan para sejarawan Islam adalah Tsuwaybah dan Halimah.
Ibu Asuh Rasulullah SAW adalah Ummu Aiman, nama sebenarnya adalah Barakah bint Tsa’labah ibn ‘Amr ibn Hishn ibn Malik ibn Salamah ibn al-Nu’man al-Habasyiyah. Berasal dari Habasyah.
Dia adalah mawali/budak/pembantu Abdullah ibn Abdul Mutthalib, ayah Rasulullah SAW.
Menikah dengan ‘Ubayd ibn al-Harits al-Khazraji setelah Rasulullah SAW memerdekakannya. Dari perkawinan ini lahir Aiman.
Dikatakan sebagai ibu asuh karena setelah kepergian Aminah bint Wahb, ibu kandung Rasulullah SAW ketika baginda masih berusia 6 tahun, Ummu Aiman lah yang menjaga dan mengasuhnya serta membantu keperluan seorang anak dari mulai makan, minum, pakaian dan lain sebagainya.
Rasulullah SAW sering memanggilnya dengan sapaan Ummah (ibu).
Bahkan Rasulullah SAW sendiri pernah bersabda : Ummu Aiman adalah ibuku setelah ibundaku.
Ummu Aiman adalah termasuk orang-orang yang pertama masuk Islam, paling tidak, untuk wanita, beliau masuk setelah Khadijah atau setelah putri-putri Rasulullah SAW atau masuk dalam kategori sepuluh wanita pertama masuk Islam.
Semasa di Makkah, karena termasuk orang biasa, beliau mendapat perlakuan kasar dan buruk dari pemuka Quraisy.
Ketika hijrah diizinkan, beliau termasuk orang yang ikut hijrah ke Habasyah. Kemudian beliau termasuk orang yang kembali ke Makkah bersama rombongan.
Ketika hijrah ke Madinah, beliau termasuk yang berhijrah, bahkan dengan berjalan kaki dan dalam kondisi puasa.
Meski tidak sendiri dan tetap bersama rombongan, beliau tidak menunggang onta apalagi kuda. Jarak 430 km ditempuh dengan berjalan kaki.
Sampai akhirnya, karomah Allah SWT diberikan untuknya. Siang yang panas tetap dilaluinya dengan kesabaran dan ketabahan. Ketika datang waktu berbuka, Ummu Aiman tidak mendapatkan air untuk diminum. Tiba-tiba muncul gumpalan awan yang membentuk seperti ember putih, beliau mengambilnya dan meminum darinya. Setelah minum sampai hilang dahaganya, beliau melanjutkan perjalanannya ke Madinah tanpa pernah merasakan haus kembali. Bahkan sampai akhir hayatnya.
Bahkan, beliau bercerita bahwa suatu ketika beliau sengaja tawaf di siang hari di panas yang terik dengan harapan akan merasa haus, tapi ternyata beliau tidak juga merasa haus.
Ummu Aiman ra. bercerita :
Suatu ketika Rasulullah SAW menginap di rumah. Ketika malam beliau bangun dan buang air di bejana. Tak lama kemudian saya terbangun dan mencari minum karena kehausan, saya mendapatkan air di bejana, dan saya langsung meminumnya.
Esok paginya, Rasulullah SAW berkata kepadaku :"Wahai Ummu Aiman, tolong buangkan air yang ada di bejana."
Saya pun menjawab : "Wahai Rasulullah SAW, demi Dzat yang telah mengutusmu dengan haq, saya sudah minum air yang ada di dalamnya."
Rasulullah SAW tertawa sampai terlihat giginya lalu bersabda : "Sungguh perutmu tidak akan sakit lagi setelah ini."
Setelah dimerdekakan oleh Rasulullah SAW, Barakah (nama asli Ummu Aiman) menikah dengan ‘Ubayd ibn al-Harits al-Khazraji. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang bernama Aiman. Karena itulah beliau dipanggil dengan nama Ummu Aiman.
Aiman sendiri tumbuh menjadi pemuda yang gagah, berjuang bersama Rasulullah SAW sampai akhirnya syahid di perang Hunain.
Ketika Ummu Aiman menjanda, masih lagi di Makkah sebelum hijrah. Rasulullah SAW berkata kepada para sahabatnya : Barang siapa yang ingin menikahi perempuan ahli surga, maka hendaklah dia menikahi Ummu Aiman.
Mendengar tawaran dan berita baik, Zayd ibn Haritsah langsung menyatakan minatnya dan melamarnya.
Dari perkawinan ini, lahir Usamah ibn Zayd, orang yang dicintai Rasulullah SAW dan anak orang yang dicintai Rasulullah SAW.
Ketika Rasulullah SAW meninggal, Abu Bakar mengajak Umar untuk menjenguk Ummu Aiman dengan harapan semoga dapat meringankan kesedihannya. Setelah berjumpa, Ummu Aiman menangis. Abu Bakar berkata : Kenapa kamu menangis, apa yang disiapkan Allah lebih baik untuk Rasulullah SAW.
Ummu Aiman menjawab : Aku bukan tidak tahu hal itu, tetapi aku sedih karena wahyu sudah terputus dari langit.
Terdapat beberapa riwayat tentang tahun wafatnya, ada yang mengatakan 5 bulan setelah wafatnya Rasulullah SAW, ada juga yang mengatakan 6 bulan kemudian.
Dalam kitab Nisa’ Hawl al-Rasul SAW, dipilih pendapat yang mengatakan bahwa beliau meninggal 20 hari setelah terbunuhnya Umar, atau tahun 23 H.
Dia adalah Fatimah bint Asad ibn Hasyim ibn Abd Manaf.
Beliau adalah istri dari Abu Thalib, paman Rasulullah SAW.
Beliau juga merupakan ibu dari sepupu Rasulullah SAW dari Abu Thalib : Ali, Thalib, ‘Aqil, Ja’far, Ummu Hani, Jumanah dan Raythah.
Beliau lah yang mengasuh secara langsung Rasulullah SAW selama beliau ada di rumah Abu Thalib bersama Ummu Aiman sebagai pembantu mereka.
Fatimah bint Asad baru masuk Islam setelah suaminya Abu Thalib meninggal. Beliau berbai'at dengan Rasulullah SAW dan menjadi muslimah yang baik.
Beliau ikut berhijrah ke Madinah, dan setelah itu ikut berperan dan membantu Rasulullah SAW dalam perjuangannya dan peperangannya.
Selain itu, beliau juga berperan besar dalam mendidik dan membesarkan putra putrinya yang kesemuanya merupakan orang-orang yang sangat berperan dalam perjuangan Rasulullah SAW.
Dari Ibn Abbas : “Ketika Fatimah bint Asad ibn Hasyim, ibunda Ali ibn Abi Thalib meninggal, Rasulullah SAW membuka bajunya dan mengkafani Fatimah bint Asad ibn Hasyim, dan Rasulullah SAW berbaring di liang lahatnya, sesudah pemakaman selesai, para sahabat bertanya, Wahai Rasulullah, Engkau melakukan sesuatu yang tidak pernah engkau lakukan pada orang lain. Beliau menjawab : Aku memakaikannya bajuku supaya beliau memakai pakaian Ahli Surga, dan aku berbaring di liang lahatnya dengan harapan dapat meringankan himpitan kuburnya, beliau termasuk orang yang sangat berjasa kepadaku sesudah Abu Thalib”.
Di riwayat yang lain Rasulullah SAW mendoakannya sesudah berbaring di liang lahadnya, “Allah yang menghidupkan dan mematikan, Dia-lah yang Maha Hidup dan tidak akan mati, ampunilah Ibuku dan berilah Hujjah baginya, lapangkanlah kuburnya, demi Nabi-Mu dan nabi-nabi sebelumku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang".
Beliau meninggal di Madinah.
Ketika meninggal, Rasulullah SAW yang mengkafankannya, bahkan dengan menggunakan bajunya. Beliau juga yang ikut turun ke dalam liang lahat bahkan sempat tiduran di sisinya.
Setelah keluar dari liang lahat, Rasulullah SAW terlihat menangis.
Melihat hal yang diluar kebiasaan itu, Umar bertanya : Wahai Rasulullah, kenapa kamu melakukan sesuatu yang tidak pernah engkau lakukan terhadap orang lain ?
Rasulullah SAW menjawab : "Wahai Umar, perempuan ini di mataku adalah seperti ibu yang melahirkanku. Ketika Abu Thalib mencari nafkah, beliaulah yang menyiapkan makanan dan aku makan bersama mereka".
Ketika para sahabat bertanya hal yang sama, Rasulullah SAW menjawab : "Sesungguhnya, tidak ada orang yang berbuat lebih baik kepadaku setelah Abu Thalib dari dia. Aku pakaikan bajuku dengan harapan dia dipakaikan baju dari surga, aku tiduran di liang lahatnya dengan harapan dia diringankan dari azab kubur."
[1] Sahih al-Bukhari, hadis no. 4711; Sahih Muslim, hadis no. 2626. Tambahan dalam riwayat al-Bukhari : Urwah berkata : Tsuwaybah adalah maulat (budaknya) Abu Lahab, Abu Lahab kemudian memerdekakannya, kemudian dia menyusui Nabi SAW.
[2] Sirah Nabawiyah, Syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfury, hal. 76 - 79
[3] Sahih Muslim, hadis no. 236.
[4] Hadis diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam al-Sunan, hadis no. 4478.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !